Novel Baswedan Tak Lulus Tes Wawasan Kebangsaan, Ternyata Begini Jawaban-jawabannya merupakan berita Hangat N3 di 2020.
Online - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkapkan sejumlah pertanyaan yg diajukan pihak Badan Kepegawaian Nasional (BKN) saat mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK). Novel menyampaikan tiga contoh pertanyaan yg dilayangkan kepadanya.
"Kebetulan saya disebut sebagai salah satu dari 75 pegawai KPK yg katanya tidak lulus TWK tersebut. Dan saya masih ingat apa saja pertanyaan & jawaban saya dalam tes tersebut," mengatakan Novel saat dikonfirmasi, Selasa (11/5).
Pertanyaan pertama, ujar Novel, mengenai apakah dirinya setuju dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
"Jawaban saya saat itu kurang lebih seperti ini: Saya merasa tidak pakar bidang politik & ekonomi, & tentunya karena adalah penyidik tindak pidana korupsi, saya lebih tertarik untuk melihat tentang banyaknya dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan listrik negara, & inefisiensi yg jadi beban bagi tarif listrik," mengatakan Novel.
Pertanyaan kedua, masih menurut Novel, adalah mengenai sikapnya sebagai penyidik kalau ada intervensi dalam penanganan perkara, seperti dilarang memanggil saksi tertentu & sebagainya.
"Saya jawab kurang lebih begini: Dalam mengerjakan penyidikan tidak boleh dihalangi atau dirintangi, karena perbuatan tersebut adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sebagai seorang ASN, saya tentu terikat dengan ketentuan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yg intinya pegawai negeri dalam melaksanakan tugas mengetahui adanya dugaan tindak pidana wajib untuk melaporkan. Sehingga respons saya akan mengikuti perintah Undang-undang, yaitu melaporkan bila ada yg mengerjakan intervensi," katanya.
Pria yg berlatar belakang polisi itu juga ditanyakan, apakah ada kebijakan pemerintah yg merugikan dirinya.
Saat itu Novel menjawab sebagai pribadi tidak merasa ada yg dirugikan. Namun sebagai seorang warga negara, Novel merasa dirugikan kepada beberapa kebijakan pemerintah, yaitu di antaranya adalah UU Nomor 19 Tahun 2019 yg melemahkan KPK.
Novel juga mengaku menyebutkan beberapa kebijakan lain yg dia anggap merugikan warga negara.
Hal itu Novel hinggakan lantaran dalam pelaksanaan tugas di KPK mengetahui beberapa fakta terkait dengan adanya permainan atau pengaturan dengan melibatkan pemodal atau orang yg berkepentingan, yg memberikan sejumlah uang kepada pejabat tertentu untuk dapat meloloskan kebijakan tertentu.
"Walaupun ketika itu belum ditemukan bukti yg memenuhi standar pembuktian untuk dilakukan penangkapan. Tetapi fakta-fakta tersebut cukup untuk jadi keyakinan sebagai sebuah pengetahuan. Sebaliknya, bila dijawab bahwa semua kebijakan adalah baik & saya setuju, justru hal tersebut adalah tidak jujur yg bertentangan dengan norma integritas," mengatakan dia.
Novel memahami pemerintah sering bermaksud baik, tetapi faktanya dalam proses pembuatan kebijakan atau UU seringkali ada pihak tertentu yg memanfaatkan & menyusupkan kepentingan sendiri atau orang lain.
Hal itu dilakukan dengan sejumlah imbalan atau praktik suap yg akhirnya kebijakan atau hasil UU tersebut merugikan kepentingan negara & menguntungkan pihak pemodal.
"Memahami beberapa hal diatas, semestinya sikap kritis untuk kepentingan negara adalah modal untuk kemajuan negara," mengatakan dia.
Menurut Novel, tes wawasan kebangsaan seperti itu tidak cocok dipakai untuk menyeleksi pegawai negara atau aparatur yg sudah bekerja lama, khususnya yg bertugas bidang supervisi kepada aparatur atau penegak hukum, apalagi kepada pegawai KPK.
Pegawai-pegawai KPK tersebut sudah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi akbar yg menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, & hak masyarakat. Hal itu semua merugikan negara & masyarakat.
Novel mengatakan, TWK baru akan relevan bila dipakai untuk seleksi calon pegawai dari sumber fresh graduate, tetapi juga tidak dibenarkan mengpakai pertanyaan yg menyerang privasi, kehormatan, atau kebebasan beragama.
"Dengan begitu menyatakan tidak lulus TWK kepada 75 pegawai KPK yg kritis adalah kesimpulan yg sembrono & sulit untuk dipahami sebagai kepentingan negara," mengatakan dia.(jpnn.com)
NB: Semua berita ini diambil dari internet

Online - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkapkan sejumlah pertanyaan yg diajukan pihak Badan Kepegawaian Nasional (BKN) saat mengikuti tes wawasan kebangsaan (TWK). Novel menyampaikan tiga contoh pertanyaan yg dilayangkan kepadanya.
"Kebetulan saya disebut sebagai salah satu dari 75 pegawai KPK yg katanya tidak lulus TWK tersebut. Dan saya masih ingat apa saja pertanyaan & jawaban saya dalam tes tersebut," mengatakan Novel saat dikonfirmasi, Selasa (11/5).
Pertanyaan pertama, ujar Novel, mengenai apakah dirinya setuju dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL).
"Jawaban saya saat itu kurang lebih seperti ini: Saya merasa tidak pakar bidang politik & ekonomi, & tentunya karena adalah penyidik tindak pidana korupsi, saya lebih tertarik untuk melihat tentang banyaknya dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan listrik negara, & inefisiensi yg jadi beban bagi tarif listrik," mengatakan Novel.
Pertanyaan kedua, masih menurut Novel, adalah mengenai sikapnya sebagai penyidik kalau ada intervensi dalam penanganan perkara, seperti dilarang memanggil saksi tertentu & sebagainya.
"Saya jawab kurang lebih begini: Dalam mengerjakan penyidikan tidak boleh dihalangi atau dirintangi, karena perbuatan tersebut adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sebagai seorang ASN, saya tentu terikat dengan ketentuan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yg intinya pegawai negeri dalam melaksanakan tugas mengetahui adanya dugaan tindak pidana wajib untuk melaporkan. Sehingga respons saya akan mengikuti perintah Undang-undang, yaitu melaporkan bila ada yg mengerjakan intervensi," katanya.
Pria yg berlatar belakang polisi itu juga ditanyakan, apakah ada kebijakan pemerintah yg merugikan dirinya.
Saat itu Novel menjawab sebagai pribadi tidak merasa ada yg dirugikan. Namun sebagai seorang warga negara, Novel merasa dirugikan kepada beberapa kebijakan pemerintah, yaitu di antaranya adalah UU Nomor 19 Tahun 2019 yg melemahkan KPK.
Novel juga mengaku menyebutkan beberapa kebijakan lain yg dia anggap merugikan warga negara.
Hal itu Novel hinggakan lantaran dalam pelaksanaan tugas di KPK mengetahui beberapa fakta terkait dengan adanya permainan atau pengaturan dengan melibatkan pemodal atau orang yg berkepentingan, yg memberikan sejumlah uang kepada pejabat tertentu untuk dapat meloloskan kebijakan tertentu.
"Walaupun ketika itu belum ditemukan bukti yg memenuhi standar pembuktian untuk dilakukan penangkapan. Tetapi fakta-fakta tersebut cukup untuk jadi keyakinan sebagai sebuah pengetahuan. Sebaliknya, bila dijawab bahwa semua kebijakan adalah baik & saya setuju, justru hal tersebut adalah tidak jujur yg bertentangan dengan norma integritas," mengatakan dia.
Novel memahami pemerintah sering bermaksud baik, tetapi faktanya dalam proses pembuatan kebijakan atau UU seringkali ada pihak tertentu yg memanfaatkan & menyusupkan kepentingan sendiri atau orang lain.
Hal itu dilakukan dengan sejumlah imbalan atau praktik suap yg akhirnya kebijakan atau hasil UU tersebut merugikan kepentingan negara & menguntungkan pihak pemodal.
"Memahami beberapa hal diatas, semestinya sikap kritis untuk kepentingan negara adalah modal untuk kemajuan negara," mengatakan dia.
Menurut Novel, tes wawasan kebangsaan seperti itu tidak cocok dipakai untuk menyeleksi pegawai negara atau aparatur yg sudah bekerja lama, khususnya yg bertugas bidang supervisi kepada aparatur atau penegak hukum, apalagi kepada pegawai KPK.
Pegawai-pegawai KPK tersebut sudah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi akbar yg menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, & hak masyarakat. Hal itu semua merugikan negara & masyarakat.
Novel mengatakan, TWK baru akan relevan bila dipakai untuk seleksi calon pegawai dari sumber fresh graduate, tetapi juga tidak dibenarkan mengpakai pertanyaan yg menyerang privasi, kehormatan, atau kebebasan beragama.
"Dengan begitu menyatakan tidak lulus TWK kepada 75 pegawai KPK yg kritis adalah kesimpulan yg sembrono & sulit untuk dipahami sebagai kepentingan negara," mengatakan dia.(jpnn.com)
NB: Semua berita ini diambil dari internet