Rdio, salah satu layanan streaming musik online terbesar di Amerika Serikat mengumumkan bahwa perusahaan ini akan menutup layanan mereka dalam beberapa minggu ke depan. Sungguh tragis memang, startup yg telah berdiri selama kurang lebih lima tahun ini harus gulung tikar.
Tapi untungnya Rdio tidak 100 persen menutup semua layanan mereka, karena di saat bersamaan, layanan streaming musik Pandora telah mengakuisisi saham mayoritas & hak paten Rdio sebesar $75 juta (sekitar Rp1 triliun). Belajar dari kejadian ini, berikut adalah tiga pelajaran berharga yg bisa diambil dari tutupnya Rdio.
Baca juga: Jaka Wiradisuria Menuturkan Cerita di Balik Tutupnya Valadoo
Kalah bersaing karena kurang marketing
Persaingan layanan streaming musik online khususnya di Amerika Serikat memang sangat ketat. Salah satu saingan terberat Rdio adalah Spotify, layanan streaming musik online asal Swedia yg masuk ke Amerika Serikat beberapa bulan setelah Rdio merajai layanan streaming musik di sana.
Rdio & Spotify pada dasarnya merupakan dua layanan streaming musik online yg sama. Singkat cerita, kesalahan yg dilakukan Rdio adalah tidak memiliki divisi marketing yg kuat dari awal, sehingga pamor Rdio redup dilahap oleh Spotify dengan cepat.
Selain upaya marketing, Rdio dinilai fokus terhadap fitur yg salah, seperti yg diungkapkan oleh salah satu pegawainya. Misalnya fitur antrean musik. Pemutar musik pada umumnya memungkinkan pengguna membuat antrean musik sederhana dengan mudah. Namun tidak dengan Rdio.
Pengguna yg memasukkan album / daftar putar (playlist) ke daftar antrean Rdio, layanan streaming musik akan mengenalinya sebagai “benda asing”, yg mana pengguna bisa menggerakan album tersebut ke atas sebuah jalur lagu, / sebuah daftar putar di bawah sebuah album.
Performa layanan buruk
Selain terkadang fokus terhadap fitur yg salah. Menurut testimonial beberapa pengguna, ternyata dari tahun ke tahun performa layanan Rdio semakin menurun. Seperti apa yg ditulis salah satu pengguna Rdio, Matthew Lew di Medium.
Ia mengungkapkan bahwa kinerja layanan Rdio menjadi semakin lambat dari bulan ke bulan. Performa aplikasi juga mengalami banyak masalah seperti sinkronisasi & koneksi. Intinya adalah sebagai perusahaan teknologi, harus siap & bisa dengan cepat melakukan iterasi pengembangan produk. Sehingga dapat meminimalisir hilangnya pengguna.
Terlalu fokus memikirkan profit
Kembali lagi ke persaingan antara Rdio dengan Spotify. Saat persaingan layanan streaming musik online semakin sengit, pihak yg paling diuntungkan adalah para label rekaman yg mempunyai lisensi & mempunyai kewenangan untuk mengatur perjanjian bisnis dengan layanan streaming musik online.
Menurut salah satu mantan pekerja Rdio, Wilson Miner, salah satu kesalahan Rdio adalah mencoba membuat bisnis yg berkelanjutan terlalu dini. Itu adalah salah satu kesalahan startup tahap awal yg terlalu fokus memikirkan keuntungan & memiliki bisnis yg tidak sesuai dengan laju pertumbuhan. Yang mana dalam kasus ini, Rdio telah terperangkap dalam model bisnisnya sendiri. Karena kerja sama penawaran lisensi konten, Rdio terpaksa mendapat keuntungan yg sangat tipis.
Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan jumlah pengguna berbayar setinggi mungkin, seperti apa yg telah dilakukan Spotify yg mengalokasikan dana marketing yg sangat besar untuk menggaet lebih banyak pelanggan untuk nantinya bisa dikonversi menjadi pengguna berbayar & menjadi bisnis yg berkelanjutan.
Sumber: The Verge
(Diedit oleh Lina Noviandari)
Dikutip dari sini