Peran militer di masa depan dalam kehidupan sipil yang sempat menjadi isu utama Pilpres 2019, ada kekhawatiran yang semakin kuat tentang hubungan yang lebih erat antara cabang sipil dan militer Indonesia yang dapat menghambat kemajuan demokrasi Indonesia. Dalam pemerintahan Jokowi saat ini, peran para pensiunan perwira tidak terbatas pada memberikan nasihat tentang masalah keamanan dan pertahanan nasional. Kelompok-kelompok HAM telah menyuarakan kekhawatiran tentang kembalinya militer ke dalam kehidupan sipil, di tengah-tengah kekhawatiran tentang kembalinya kebijakan “dwifungsi”.
Oleh: Dr Nicolaas Warouw (Australian Institute of International Affairs)
Pilpres 2019 adalah kontestasi yang ketat. Dan pemenangnya akan menentukan peran militer di masa depan dalam lembaga-lembaga pemerintah Indonesia dan dampaknya terhadap demokrasi negara.
Pada 17 April lalu, lebih dari 192 juta orang Indonesia berhak memberikan suara. Itu adalah pemilu kelima Indonesia sejak berakhirnya tiga dekade pemerintahan otoriter Presiden Suharto pada tahun 1998. Lebih dari 300.000 kandidat berkampanye untuk 20.528 kursi di lima tingkat pemerintahan, mulai dari kepresidenan hingga legislatif daerah.
Namun terlepas dari jumlah yang mengesankan ini, sejauh mana demokrasi telah berlangsung di Indonesia masih diperdebatkan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menerima hasil yang beragam dalam Indeks Demokrasi The Economist Intelligence Unit. Antara tahun 2016 hingga 2017, peringkatnya di antara 167 negara mengalami penurunan tajam dari 48 menjadi 68.
Para penulis laporan itu mencatat bahwa kenaikan intoleransi agama merupakan faktor yang berkontribusi dalam penurunan ini. Peringkat Indonesia naik sedikit lebih tinggi ke-65 pada tahun 2018, dan Pilpres 2019 diperkirakan akan meningkatkan kedudukan demokratis Indonesia.
Namun, dengan peran militer di masa depan dalam kehidupan sipil yang sempat menjadi isu utama pemilu, ada kekhawatiran yang semakin kuat tentang hubungan yang lebih erat antara cabang sipil dan militer Indonesia yang dapat menghambat kemajuan demokrasi Indonesia.
Baca Artikel Selengkapnya di sini
Oleh: Dr Nicolaas Warouw (Australian Institute of International Affairs)
Pilpres 2019 adalah kontestasi yang ketat. Dan pemenangnya akan menentukan peran militer di masa depan dalam lembaga-lembaga pemerintah Indonesia dan dampaknya terhadap demokrasi negara.
Pada 17 April lalu, lebih dari 192 juta orang Indonesia berhak memberikan suara. Itu adalah pemilu kelima Indonesia sejak berakhirnya tiga dekade pemerintahan otoriter Presiden Suharto pada tahun 1998. Lebih dari 300.000 kandidat berkampanye untuk 20.528 kursi di lima tingkat pemerintahan, mulai dari kepresidenan hingga legislatif daerah.
Namun terlepas dari jumlah yang mengesankan ini, sejauh mana demokrasi telah berlangsung di Indonesia masih diperdebatkan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menerima hasil yang beragam dalam Indeks Demokrasi The Economist Intelligence Unit. Antara tahun 2016 hingga 2017, peringkatnya di antara 167 negara mengalami penurunan tajam dari 48 menjadi 68.
Para penulis laporan itu mencatat bahwa kenaikan intoleransi agama merupakan faktor yang berkontribusi dalam penurunan ini. Peringkat Indonesia naik sedikit lebih tinggi ke-65 pada tahun 2018, dan Pilpres 2019 diperkirakan akan meningkatkan kedudukan demokratis Indonesia.
Namun, dengan peran militer di masa depan dalam kehidupan sipil yang sempat menjadi isu utama pemilu, ada kekhawatiran yang semakin kuat tentang hubungan yang lebih erat antara cabang sipil dan militer Indonesia yang dapat menghambat kemajuan demokrasi Indonesia.
Baca Artikel Selengkapnya di sini