Krisis hak asasi manusia di Xinjiang menunjukkan bagaimana masa depan Taiwan jika mereka berada di bawah kendali RRC, dan Taiwan tahu itu. Maka dari itu, dalam rangka menolak penindasan China, Taiwan menyatakan dukungannya untuk etnis minoritas Muslim Uighur. Taiwan menekankan bahwa tindakan China melanggar nilai-nilai hak asasi manusia universal, dan perlakuan pemerintah China terhadap Uighur jelas melanggar nilai-nilai yang dihargai oleh masyarakat Taiwan, termasuk kebebasan politik dan agama.
Oleh: Wen Lii (The Diplomat)
Di tengah kekhawatiran internasional terhadap penahanan massal warga etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya di China, kesadaran yang meningkat di Taiwan terhadap krisis Uighur sangat kentara—karena ini menunjukkan bagaimana isu-isu hak asasi manusia dan kebebasan beragama di China dapat memiliki konsekuensi pada hubungan lintas-selat dan urusan regional.
Sampai saat ini, pemerintah China telah menahan diri untuk tidak mengungkapkan jumlah pasti warga Uighur dan Muslim lainnya yang ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp konsentrasi—yang dikatakan sebagai “pusat pelatihan kejuruan” oleh Beijing—yang tersebar di seluruh wilayah Xinjiang.
Tindakan baru-baru ini oleh pemerintah China telah menunjukkan tidak adanya kemajuan dalam mengatasi kekhawatiran masyarakat internasional. Justru sebaliknya, pada kenyataannya, Beijing memberikan tekanan pada negara-negara lain dan memperingatkan mereka agar tidak menghadiri pertemuan yang membahas hak-hak Uighur di Dewan HAM PBB di Jenewa.
Di Taiwan, diskusi tentang kamp-kamp konsentrasi Uighur—termasuk laporan media serta komentar oleh para tokoh politik dan tokoh masyarakat—telah menafsirkan perlakuan buruk China terhadap warga negaranya sendiri sebagai indikasi dari apa yang bisa menimpa Taiwan jika mereka berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat China (RRC).
Secara khusus, pelanggaran kebebasan di daerah-daerah seperti Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong menyoroti ketidakmampuan China untuk memerintah daerah-daerah dengan lintasan sejarah dan budaya yang beragam di dalam perbatasannya sendiri, sementara juga mengarah pada ketidakpercayaan yang meningkat terhadap niat China untuk mencaplok Taiwan di bawah skema “Satu Negara, Dua Sistem” yang diusulkan China.
Dalam konteks ini, jaminan China untuk menghormati lembaga-lembaga politik Taiwan yang ada di bawah pengaturan semacam itu dianggap omong kosong, dan bahkan tidak masuk akal. Sementara itu, vonis baru-baru ini yang memenjarakan para pemimpin Umbrella Movement tahun 2014 di Hong Kong juga menunjukkan sifat otoriter Beijing.
Kebebasan beragama—terutama penindasan pemerintah China terhadap Muslim, Kristen, dan Buddha Tibet—menjadi sorotan di Taipei selama forum regional pada bulan Maret 2019, yang diselenggarakan bersama oleh Taiwan Foundation for Democracy dan American Institute di Taiwan (yang secara de facto berperan sebagai Kedutaan Amerika Serikat di Taiwan).
Baca Artikel Selengkapnya di sini
Oleh: Wen Lii (The Diplomat)
Di tengah kekhawatiran internasional terhadap penahanan massal warga etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya di China, kesadaran yang meningkat di Taiwan terhadap krisis Uighur sangat kentara—karena ini menunjukkan bagaimana isu-isu hak asasi manusia dan kebebasan beragama di China dapat memiliki konsekuensi pada hubungan lintas-selat dan urusan regional.
Sampai saat ini, pemerintah China telah menahan diri untuk tidak mengungkapkan jumlah pasti warga Uighur dan Muslim lainnya yang ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp konsentrasi—yang dikatakan sebagai “pusat pelatihan kejuruan” oleh Beijing—yang tersebar di seluruh wilayah Xinjiang.
Tindakan baru-baru ini oleh pemerintah China telah menunjukkan tidak adanya kemajuan dalam mengatasi kekhawatiran masyarakat internasional. Justru sebaliknya, pada kenyataannya, Beijing memberikan tekanan pada negara-negara lain dan memperingatkan mereka agar tidak menghadiri pertemuan yang membahas hak-hak Uighur di Dewan HAM PBB di Jenewa.
Di Taiwan, diskusi tentang kamp-kamp konsentrasi Uighur—termasuk laporan media serta komentar oleh para tokoh politik dan tokoh masyarakat—telah menafsirkan perlakuan buruk China terhadap warga negaranya sendiri sebagai indikasi dari apa yang bisa menimpa Taiwan jika mereka berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat China (RRC).
Secara khusus, pelanggaran kebebasan di daerah-daerah seperti Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong menyoroti ketidakmampuan China untuk memerintah daerah-daerah dengan lintasan sejarah dan budaya yang beragam di dalam perbatasannya sendiri, sementara juga mengarah pada ketidakpercayaan yang meningkat terhadap niat China untuk mencaplok Taiwan di bawah skema “Satu Negara, Dua Sistem” yang diusulkan China.
Dalam konteks ini, jaminan China untuk menghormati lembaga-lembaga politik Taiwan yang ada di bawah pengaturan semacam itu dianggap omong kosong, dan bahkan tidak masuk akal. Sementara itu, vonis baru-baru ini yang memenjarakan para pemimpin Umbrella Movement tahun 2014 di Hong Kong juga menunjukkan sifat otoriter Beijing.
Kebebasan beragama—terutama penindasan pemerintah China terhadap Muslim, Kristen, dan Buddha Tibet—menjadi sorotan di Taipei selama forum regional pada bulan Maret 2019, yang diselenggarakan bersama oleh Taiwan Foundation for Democracy dan American Institute di Taiwan (yang secara de facto berperan sebagai Kedutaan Amerika Serikat di Taiwan).
Baca Artikel Selengkapnya di sini